fenomena Jokowi-Ahok, potret buram Survei?
Fenomena kemenangan Jokowi-Ahok atas calon kuat Foke-Nara dalam Pilkada Jakarta mengejutkan semua pihak. Pasalnya di beberapa survei yang dilakukan Lembaga Survei menunjukkan hasil bahwa Foke-nara adalah calon kuat untuk memenangi pilkada dengan perolehan suara yang jauh melampaui Jokowi-Ahok. Bahkan tak sedikit yang mengklaim bahwa Foke-Nara akan memenangi Pilkada hanya dalam satu putaran saja. Jelas terlihat mata bahwa hasil survei meleset dan memperburuk citra survei itu sendiri. Sehingga banyak tudingan yang dialamatkan kepada lembaga-lembaga survei tersebut mengenai independensi survei. Bahkan tak sedikit yang memberikan stempel negatif bahwa hasil lembaga-lembaga survei tersebut dapat dipesan dan dibayar. Benarkah demikian? Untuk masalah ini, kita tidak mempunyai jawaban pasti, karena belum ditemukan bukti yang mengarah ke sana.
Sedikit banyak persepsi akan terbentuk dari masyarakat dan pasti akan terbersit di benak masyarakat untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan, “apakah survei itu?”. Survei merupakan sebuah metode untuk memperoleh gambaran karakteristik dari sebuah populasi. Inti survei adalah estimasi kondisi populasi dengan cepat, hemat dan akurat tanpa melakukan pendataan menyeluruh terhadap populasi. Sebuah metode statistik yang cukup efektif dan sering menjadi jalan seorang peneliti untuk menjawab masalah-masalah dalam berbagai lini kehidupan. Selain kelebihan, tentunya metode ini memiliki kekurangan jika beberapa syarat tidak dapat dipenuhi yaitu memiliki kesalahan dalam melakukan estimasi terhadap populasinya.
Di sini kapasitas saya bukan menanggapi sisi politisnya, melainkan akademis terkait dengan salah satu metode pengumpulan data yang disebut “SURVEI”.
Sebelum beranjak mengenal jauh tentang survei, ada baiknya jika temans membaca artikel saya berikut ini yang mengulas sekilas tentang survei secara sederhana. Inti survei adalah menjawab permasalahan populasi dengan cepat, hemat dan akurat tanpa melakukan pendataan menyeluruh terhadap populasi.
Jika sudah, maka akan lebih mudah buat saya untuk menjelaskan beberapa hal penting terkait survei.
Frame Sampel/Populasi
Populasi merupakan sebuah modal dasar dan modal awal dalam melakukan sebuah survei. Kerangka atau frame yang jelas dan lengkap akan menghasilkan sampel yang lebih presentatif. Misal, seorang peneliti ingin melakukan sebuah penelitian tentang kondisi buruh di Indonesia maka diperlukan frame yang meliputi seluruh buruh Indonesia. Jika ingin melakukan penelitian mengenai pilihan Cagub-cawagub Jakarta, maka frame yang digunakan adalah seluruh penduduk Jakarta. Jika tidak, maka kemungkinan besar hasilnya akan meleset jauh. Terlebih-lebih jika hanya mengandalkan “survei abal-abal” dengan dasar yang lebih mirip dengan “polling”. Jangan pernah sekalipun berpikir bahwa polling yang dilakukan media massa dengan metode pengiriman sms atau sejenisnya adalah refleksi dari kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Karena metode polling ini hanya bersifat registrasi atau menunggu feedback dari responden, bukan peran aktif dari peneliti atau pencari data. Sehingga hasilnya hanya menggambarkan kondisi responden yang turut serta dalam polling tidak dapat digunakan untuk mewakili keadaan atau karakteristik populasi.
Jumlah Sampel
Jumlah sampel haruslah memenuhi unsur optimum sample sized. Itu berarti bahwa jumlah sampelnya telah disesuaikan dengan biaya dan error. Hal inilah yang sering dikesampingkan oleh peneliti, menganggap remeh penentuan jumlah sampel sama saja dengan menganggap remeh kegiatan survei itu sendiri. Semakin besar jumlah sampel, maka tingkat kesalahan yang dihasilkan oleh sebuah survei akan semakin kecil dengan biaya yang semakin besar begitupun sebaliknya. Dengan penentuan optimum sample sized akan diperoleh sebuah ukuran yang sampel yang menghasilkan tingkat kesalahan dan biaya yang optimum. Jakarta dengan jumlah populasi pemilih yang cukup banyak tentunya memerlukan penanganan yang cukup cerdas. Faktor paling vital yang harus siap ditanggung oleh “lembaga survei politik” independen adalah biaya. Lembaga survei harus bekerja keras memutar otak untuk mendapatkan hasil survei yang akurat dengan jumlah dana yang “terbatas”.
Metode Penarikan Sampel (Sampling)
Metode penarikan sampel atau lebih dikenal dengan sampling juga menentukan akurat tidaknya hasil sebuah survei. Pemilihan metode penarikan sampel tidak semata-mata ditentukan dari besar-kecil error yang akan dihasilkan, melainkan pada kondisi populasi atau frame itu sendiri. Karakteristik populasi memainkan peran di sini, semakin homogen populasi maka diperlukan sebuah metode penarikan sampel yang khusus. Semakin heterogen populasi maka diperlukan sebuah metode penarikan sampel yang khusus pula. Homogenitas sebuah populasi dapat diketahui dari besaran varians atau sebaran data. Semakin kecil nilai varians ini, maka populasi cenderung seragam atau homogen dan begitu sebaliknya. Misal, jika survei yang diterapkan di Jakarta menggunakan metode penarikan sampel untuk daerah yang homogen padahal populasi di Jakarta berkarakteristik heterogen maka hasil survei jelas akan lebih jauh dari kenyataan. Terus apa pula yang dimaksud dengan purposive sampling? Sepertinya perlu ruang dan waktu khusus untuk membahas hal yang satu ini, mungkin lain waktu.
Petugas Pendata
Kecermatan dalam mengajukan pertanyaan dalam kuesioner oleh petugas pendata dituntut di sini. Menjaga kerahasiaan data yang diberikan oleh responden menjadi barang wajib yang harus dimiliki oleh setiap petugas. Sebelum melakukan suatu survei, petugas harus dibekali dengan pengetahuan mendalam mengenai tujuan survei dan tata cara melakukan pendataan yang baik dan benar. Tidak sekedar mewawancara tanpa tahu arah dan tujuan survei yang sedang dilakukan.
Data tidak akan mungkin baik jika dilakukan di atas meja alias dikarang seenak perut si petugas itu sendiri, hal ini berarti bahwa setiap petugas harus benar-benar turun ke lapangan dan melakukan wawancara secara langsung dengan responden. Tidak boleh petugas memiliki “kecenderungan” mengarahkan responden untuk memberikan jawaban “tertentu”, dengan kata lain seorang petugas pendata haruslah bersikap netral. Hal-hal tersebut dilakukan untuk memotret kondisi sebenarnya di lapangan.
Responden
Ketika hasil survei tidak akurat, unsur inilah yang sering dilupakan orang. Ramai-ramai menghujat dan mencaci pelaku survei tanpa melihat kondisi responden saat wawancara. Ketakjujuran, apatis, rumit, berbelit-belit, ngasal merupakan sifat responden yang semakin memburamkan hasil survei, sehingga tujuan survei tak terpenuhi. Dalam kasus Pilkada Jakarta, muncul beberapa kemungkinan terhadap perilaku atau sifat responden yaitu salah satunya dikarenakan responden tidak jujur atau istilah keren nya adalah swing voters yaitu responden yang saat wawancara memilih Cagub-Cawagub A, akan tetapi saat Pilkada berubah haluan dan akhirnya memimilih Cagub-Cawagub B atau ada responden yang merahasiakan pilihannya. Kemungkinan kedua adalah responden jujur, akan tetapi hasil survei “dibuat sedemikian rupa” sehingga timbul suatu kecenderungan yang memenangkan Cagub-Cawagub.
Fenomena kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada Jakarta atas Foke-Nara merupakan sebuah kejadian menarik yang mementahkan hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei. Lalu kalau sudah begini apakah survei masih diperlukan sebagi metode untuk menggambarkan kondisi sebuah populasi? Jawabannya adalah iya, survei masih sangat diperlukan karena faktor-faktor kemudahan, biaya dan kecepatan bila dibandingkan dengan sensus yang melibatkan seluruh anggota populasi dalam pendataan. Survei masihlah merupakan sebuah metode efektif untuk menjawab beragam masalah yang terjadi dalam masyarakat asalkan memenuhi kaidah-kaidah keilmuan. Sebelum melakukan sebuah survei. Kenali baik-baik metodenya, terapkan dengan benar, tuai hasilnya dengan senyum lebar.
Anda tidak perlu menghabiskan segelas kopi hanya untuk merasakan kopi itu itu manis…andapun tidak perlu menghabiskan satu panci sop hanya untuk merasakan bumbunya sudah pas….intinya Sampling….bagaimana anda bisa mengelompokan populasi ke dalam segmen-segmen tertentu…sampai populasi menjadi homogen….2 sample dalam segmen yang homogen sudah cukup…satu sendok makan sop sudah cukup mewakili satu panci sop….best regards
sepertinya anda melewatkan artikel link saya ke Statistik??… tepat sekali saya setuju dengan pendapat anda.
Tapi sayangnya populasi sop bukanlah populasi jakarta, homogenitas populasi dapat diketahui dari frame. Misal homogenitas menurut kelompok umur, pendidikan, profesi dsb. bagaimana dengan pilihan responden dengan beragam latar belakang mengenai cagub-cawagub mereka? anda pasti tahu jawabannya, metode sampling mana yang tepat bukan?
Ohh iya sebagai tambahan, kalau populasi sudah dimiliki. Bukannya heterogen/homogen dari karakteristik populasi bisa diketahui dengan variansnya? CMIIW
Hampir punya ide nulis di warung dengan judul gempa statistik.
Bravo AdiW …
gempa statistik??
judul yang bombastis dan “mengundang”.. oke,mksh MJK
Masjokomu baru hampir punya ide, AdiW sudah memberikan informasi yang lebih jelas kepada masyarakat banyak baik di dunia maya maupun di media koran. Masjokomu bangga punya kawan yang banyak ide, kreatif. Tidak salah kalau masjokomu pernah pengin berguru …
hadeh mas, pujian itu salah alamat. kalau dibaca warungers bisa dkritik abis2an tuh.hehehe
Semoga rakyat makin pintar memilih pemimpinnya, murni memilih dr hati nurani ga terpengaruh oleh hasil2 survei (pesanan) hehehe