Pelajaran hidup dari seorang nenek
Sore itu aku dan dua orang teman sebut saja Ren dan And bersantai di tepian sungai Barito, bersantai menghabiskan senja dengan segelas Es Kelapa Muda (aku tidak minum karena perutku tidak bersahabat, rasanya sebah dan begah) dalam obrolan yang penuh kehangatan. Mulai dari game, gadget dan hal-hal menarik lainnya yang biasa diobrolkan laki-laki. Di tengah-tengah saat santai kami itu, seorang nenek yang kutaksir umurnya sekitar 65 tahunan menghampiri meja kami dan menawarkan jualannya dalam bakul yang dipanggulnya.
Nenek: “Cu, beli kacang goreng?”
waktu itu aku masih dalam keadaan pusing karena kelelahan, jadi tidak terlalu menghiraukan si nenek dan menjawab seadanya.
Aku: “maaf, tidak nek” sambil memijit-mijit kepalaku.
Si nenek kembali menawarkan kacang gorengnya ke Ren dan And. Karena mungkin memang keduanya tidak terlalu suka kacang goreng maka mereka menggelengkan kepala seraya berkata tidak.
Lalu nenek tersebut mengemasi lagi dagangannya dan memikul beban yang menurutku cukup berat di usia rentanya. Sesaat kemudian sambil tersenyum, dia pamit dan berjalan ke warung lain untuk menjajakan kacang gorengnya. Ketika dia berjalan sudah cukup jauh dari tempat kami, dan pandanganku tak lepas dari gerak-geriknya … batinku tersentak. “DEG” kenapa aku ini, kok jadi bersikap acuh tak acuh dan mengabaikan ladang amal yang baru saja menyapa. Kenapa, sesal itu datang selalu di akhir.
Sosok nenek itu langsung terbayang jelas di pikiranku, rentetan peristiwa detik demi detik si nenek yang menawarkan kacang gorengnya begitu mengusik hatiku. Dia bukanlah pengemis, dia adalah seorang pejuang tangguh yang mengabaikan tubuh rentanya demi mengais rejeki dengan cara terhormat dan halal. Obrolan kedua temanku selanjutnya tak terlalu aku hiraukan, aku masih merasa bodoh dan teramat menyesal dengan sikapku 10 menit yang lalu. Aku hanya diam dalam senyum kecut yang tiada habisnya. Hingga sejurus kemudian ….
Si nenek tadi lewat di depan tempat kami minum, Alhamdulillah ….
dengan hati gembira aku panggil dia
Aku: “nek, beli kacang goreng”
Si nenek terkejut, sambil datang menghampiri meja kami dengan tersenyum. Kedua temanku mengernyitkan dahi dengan tingkahku, tadi kan gak mau kacang goreng sekarang kok jadi mau pikir mereka.
Aku:”berapa satu bungkusnya nek?” sambil kulirik dagangannya yang sepertinya masih banyak..
Nenek: “sebungkus 2 ribu, kalau satu gelas 5 ribu”
Aku: “saya beli satu gelas deh, tapi dikasih bonus yah” aku tertawa kecil setengah bercanda pada si nenek dan menyerahkan selembar uang 5 ribuan. Sambil tersenyum si nenek mengambil segelas kacang goreng dan menuangkannya dalam piring kecil. Hal tak terduga yang membuatku malu, dia mengambil lagi setengah gelas dan menuangkan dalam piring tadi. Aku sontak memandang Ren dengan ekspresi kaget dan tak habis pikir kan cuma bercanda, begitupun dengan Ren. Si nenek memandangi uang yang kuberikan tadi baik-baik, lalu hendak mengambil uang kembalian sebesar 5 ribu.
Nenek: “ini kembaliannya 5 ribu ya Cu” Belum hilang kekagetanku, ditambah
lagi kekagetan yang lain.
Aku: “lho uangnya tadi 5 ribu nek, uangnya pas”
Nenek: “ohh ini 5 ribu, maaf Cu nenek kesulitan membedakan uang 10 ribu dengan 5 ribu” sambil tersenyum. Lagi-lagi aku trenyuh, membayangkan seandainya si nenek dapat pembeli yang “nakal”. Refleks temanku Ren memberikan uang 5 ribu pada si nenek sebagai ganti atas kelebihan kacang goreng tadi.
Ren: “ini buat nenek”
Si Nenek lekat-lekat kembali memandangi uang 5 ribuan tadi dan bergegas mengambil kacang goreng lagi. Aku dan Ren langsung menahannya, “enggak nek, itu buat nenek”. Si Nenek kaget bercampur senang sambil mengucapkan terima kasih dan mendoakan kebaikan atas kami. Setelah itu, si nenek pamit beranjak pergi dan kembali berkeliling menjajakan dagangannya.
Aku hanya berucap syukur Alhamdulillah, sepertinya aku dan kedua temanku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang kerja keras, kebaikan dan perjuangan hidup di senja yang cemerlang ditemani gemericik sungai Barito yang hampir saja kami lewatkan.
Terima kasih nenek atas pelajaranmu hari ini, semoga Alloh menggantinya dengan pahala yang memenuhi cacatan kebaikanmu.
ps: terkadang hal-hal kecil sepeti kejadian di atas banyak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Renungkan, perhatikan dan insya Alloh kita akan mendapatkan hikmah.
Di deket lapangan di rumahku di Jakarta dulu, ada penjual es cendol yang udah tua dan tangannya tremor abis. Suatu hari, aku lewat lapangan situ sama sepupuku (waktu dia masih SMP). Dia ngajakin beli es censol tapi aku gak mau. Soalnya pernah liat ada yang beli trus karena tangan si Kakek tremor, gula merahnya malah belepetan ke luar plastik atau gelasnya.
Trus adek sepupuku bilang, “Daripada beli es krim ke Indomaret, mending beli ini aja. Itu kakek ngurus cucunya yang masih kecil loh. Udah sakit-sakitan tapi masih jualan juga.”
Akhirnya aku beli deh es cendolnya.
Abis itu jadi nyesel sendiri soalnya selama ini gak pernah tau cerita-cerita kayak gitu. Sementara adek sepupuku yang masih SMP tau soalnya dia emang tukang maen sih di sekitar lapangan situ sih. Tapi ya itu, harusnya kita lebih sensitif…. Lebih peduli. Biar gak cuman ngeliat orang dari seberapa menguntungkannya dia buat kita kayak saya itu. T_____T
NIce story, Bang Adiw. ^^
Mksh atas share ny OctaNH, iya nh… hal2 spektakuker yang kadang kita anggap sebagai hal kecil dan sepele trlalu banyak di sekitar kita
Hal hal kecil seperti pengalaman mas AdiW ini, bagus untuk melatih kepekaan hati, membersihkan jiwa. Sebagai intelektual bisa mengemasnya sebagai sebuah tulisan, dapat melatih mas AdiW sebagai intelektual yang berkarakter. Terus berkaya. Saya bangga punya kenalan kaya mas AdiW ini. Kompetensinya matematis, tapi punya kepekaan sosial. Indonesia perlu banyak orang orang kayak begini.
Tapi kalau ceritanya tentang kacang rebus, hendaknya hati hati. Lain halnya dengan kacang goreng yang memang bisa lebih awet. Kacang rebus mungkin saja tidaklah bisa awet seperti kacang goreng. Kalau barang dagangannya tidak habis, bisa jadi besuk dijual lagi dalam tumpukan kacang rebus lain. Nah kalau ketahuan setelah dibeli orang, lama lama orang akan menandai kok kacang rebus nya campur campur. Pedagang kacang rebus punya kiat supaya kacang rebusnya awet. Nah inilah yang perlu diwaspadai, kalau membeli kacang rebus yang padat kulit kacangnya lebih putih, dan tahan lebih lama, walaupun lupa tidak dimakan, perlu hati hati. Jangan jangan itu kacang rebus, pakai pengawet. Pada umumnya pengawet berbahaya untuk kesehatan. Lho kok malah lari ke mana nih komentnya …
MJK ini kalo muji paling pinter.he3….
btw, mksh atas infonya