Untuk dia yang akan selalu menjadi Pahlawanku
Kucoba melangkah meski berat ke arah pintu di ujung sekolah. Pintu itu terbuka seolah memancarkan aroma yang membuatku bergidik. Sesampainya, aku hanya mematung malu di depan pintu. Nyaliku ternyata tak cukup untuk memaksaku masuk ke ruangan.
Di tengah ketakutanku, sesosok wanita paruh baya berjongkok sambil memegang erat kedua telapak tanganku. Dia menatapku lembut sambil berkata “anak manis, hilangkan kegundahan dan ketakutanmu karena di dalam ruangan ini kau akan menemukan dunia indahmu”. Seketika, entah kenapa semua keberanian terkumpul dalam setiap sendi tubuhku. Lalu, hari demi hari kunikmati dengan penuh warna, tak lagi hitam ataupun putih di dalam ruangan itu. Masa yang sangat indah dengan begitu banyak hal yang tak mungkin lagi bisa terulang di kehidupanku yang sekarang, seolah takkan pernah habis untuk dikisahkan hanya dalam secarik kertas. Semua bermula dari pertemuan pertamaku dengannya.
Masih lekat di ingatan tentang ritual pagi yang begitu menyenangkan untu dilalui menyambut kedatangannya. Seperti biasa aku berangkat lebih pagi karena aku tak mau kehilangan kesempatan emas yang yaitu membawakan tas hitam tuanya untuk sekedar meringankan beban di bahu. Karena aku tahu bahwa aku harus bersaing dengan hampir sekumpulan teman-teman sekelas untuk bisa membawakan tasnya. Dia merupakan sosok idola sekaligus panutan yang ketulusan hatinya selalu melekat di dasar hati kami. Makanya tak segan kamipun dengan sukarela dan sukacita memaksanya untuk menyerahkan tasnya untuk kami bawa.
Di depan gerbang sekolah, sepeda motornya bergerak perlahan dengan suara yang aneh dan sesekali mengepulkan asap pekat dari knalpot, tanda bahwa sepeda motor itu sudah menua seiring keriput yang tergores di beberapa sudut wajahnya. Kami pun bergegas berlari kecil mengekor di belakang motornya hingga sampilah di parkiran sekolah. Belum sempat motor dimatikan, kami sudah memperebutkan tasnya. Tawa bahagianya selalu terpancar setiap kali melihat kami bertingkah konyol begini.
Tak hanya “ritual” itu, kepiawaiannya mengajarkan pelajaran Matematika di kelas begitu menakjubkan. Kami seolah terbius untuk selalu melepaskan pandangan hanya padanya. Hingga jangan heran, Matematika menjadi salah satu pelajaran favoritku kala itu. Tak hanya melulu tentang Matematika, dia membuka sekat demi sekat yang membelenggu berbagai kreativitas dan kecerdasanku. Menanamkan sikap kebaikan untuk menyapu kekakuan, keputusasaan, kelelahan dan kesalahan yang tanpa diduga menempel dalam relung jiwa terdalam. Tak segan dia menanamkan pondasi keimanan, mengajarkan arti kehidupan, mengenalkanku pada dunia baru demi persiapan untuk misi besar selanjutnya. Semua dilakukannya dengan ikhlas tanpa keluhan, tanpa bentakan dan tanpa mengharap secuil imbalan. Meski secara tak sengaja ku temukan titik-titik kelelahan yang mendera tubuh rentanya, dia tetap tegak memamerkan geraham belakangnya dengan tawa renyah dan ceria.
Hingga tak terasa semua berjalan begitu cepat hingga di satu waktu derai air mata menjadi saksi bisu perpisahan antara aku dan dia. Aku yang akan menyelesaikan misi hidup di tingkat yang lebih tinggi dan dia yang tetap dan akan selalu membekali tunas-tunas baru dengan pengabdiannya di sekolah itu. Satu yang dia titipkan di pundakku, bukan tas hitam tuanya melainkan kepercayaan atas keberhasilanku kelak.
Aku terseok menelusuri tahap baru ini, tanpanya aku seolah tak punya daya. Bekal yang sudah di siapkannya ternyata masih saja membuatku tak kuat menahan gelombang tantangan yang tak henti mendera. Hampir putus asa, ingin sekali aku kembali padanya. Ku ketuk pintu rumahnya yang telah rapuh, mencium hangat tangannya, mengeluarkan seribu keluh kesah padanya dan dapat kembali mengais semangat darinya. Tapi itu tak mungkin, dia pasti kecewa kalau aku datang dengan kekalahan tanpa daya juang. Dia pasti bersedih atas ketidakberdayaanku menyelesaikan misi dan dia pasti akan merana menyaksikanku dalam raut kegagalan.
Kubulatkan lagi tekadku, kusatukan kembali serpihan asaku, kubentangkan lagi bekal-bekal hidupku dan kupatrikan semua semangatnya dalam jiwaku. Aku berjanji pada diriku sendiri, tak akan kubiarkan dia malu atas sikap pengecutku ini.
Aku berlari, aku melesat, aku taklukan semua misi darinya dari suatu kelas ke kelas berikutnya hingga sampailah aku di titik tertinggi suatu saat nanti. Semua pujian, kebanggaan aku selipkan untuknya. Keberhasilan-keberhasilanku merupakan buah dari pohon yang dulu dia siram dengan tekun dan tak kenal lelah. Kujunjung dia dalam sederet prestasi dan kubanggakan dia dalam kesuksesanku. Ketika semua mata memandangku takjub, dia akan selalu tersenyum haru dan bangga menepuk dadanya sambil berkata pada semua orang “dia adalah muridku”.
Tapi sekali lagi itu hanyalah omong kosong dalam lamunan senjaku, aku tetaplah seorang pengecut yang kalah di medan laga. Aku bukanlah bagian dari perjuangannya dan aku bukanlah harapan-harapan muluknya. Aku laksana onggokan sampah yang tak pantas menyandang gelar “murid kesayangan” nya. Aku adalah produk gagal di antara ratusan murid kebanggaannya yang tak seharusnya menampakkan diri.
Rasa maluku menguatkanku untuk melupakan dan menghapus namanya dari hidupku. Tak akan kutemui dia, karena aku tahu dia hanya akan mencemooh dan menghina kepayahanku. Yang aku lakukan adalah lari dari kenyataan dan terus larut dalam penyesalan. Menjauh dan menjauh darinya.
Tapi rupanya Tuhan memiliki sebuah rencana yang tak kuasa aku tentang. Tanpa diduga tiba-tiba saja dia datang menyapaku. Kembali merangkulku dalam dekap hangatnya yang mulai ringkih, menuntunku dalam semangatnya dan sedikitpun tak memandang rendah padaku atas semua fakta yang kualami. Baginya aku tetaplah murid kesayangannya, tak berubah meski waktu menggerus jaman. Kepercayaannya padaku tak pernah berubah, masih sama saat pertama kali dia bertemu denganku. Mencoba menyalakan pandanganku akan masa depan dengan serangkaian petuahnya.
Rasanya tak berani kutatap matanya, aku malu, tertunduk lesu dan meneteskan air mata penyesalanku.
Lewat tulisan ini kupersembahkan maaf dan rasa terima kasihku untuk dia yang tak mau dikenang “jasa-jasanya”, untuk dia yang tak kan tergantikan, untuk dia yang akan selalu menjadi pahlawanku dan untuk dia yang akan selalu menjadi Guruku.
(inspired by Bu Sri Yudiasih, Guru Matematika SDN Nambaan II, Kediri)