Tentor juga Manusia

Menjadi seorang pengajar merupakan salah satu obsesiku dari kecil. Ngerasa bisa menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain dengan menyebarkan Ilmu Pengetahuan. Lebih khusus atau tepatnya menjadi seorang Guru atau Dosen. Tapi dengan background pendidikan plus pekerjaanku sekarang rasanya sulit untuk merealisasikannya. Tak ayal mimpi itu masih menjadi asa yang entah kapan terwujud, tapi …. dipikir-pikir sebenarnya aku juga sudah pernah merasakan enak atau gak enaknya jadi pengajar. Misalnya melalui kegiatan-kegiatan di kantor yang mewajibkan aku menjadi instruktur teknis dalam menjelaskan perihal pekerjaan kepada petugas. Menyenangkan dan memberikan rasa “kepuasan” tersendiri, ditambah petugas memang hormat dengan kita sebagai instruktur, plus kita juga memang dilatih dengan bekal materi yang memang benar-benar kita kuasai, plus kondisi atau sifat petugas yang homogen.

Lain Halnya jika berbicara satu pengalamanku ini yaitu jadi tentor Lembaga Bimbingan Belajar. Pengalaman pertama menjadi tentor, ku mulai melalui P******ma. Kebetulan saat itu diajak teman untuk merintis  cabang LBB tersebut di Marabahan. Meski hanya bertahan selama 1 tahun, pengalaman mengajar sudah cukup membuatku percaya diri dalam hal “mengajar”. Kebetulan aku mengajar mata pelajaran Matematika, yang memang tidak jauh-jauh dari profesi. Kebetulan yang kuajar adalah anak-anak SMA kelas 3 IPA, jadi penyampaian materi tidak terlalu “ngoyo” dan cukup mudah karena rata-rata sudah cukup paham dengan materi yang ada. Menjadi tentor pengganti juga bukan suatu hal sulit buatku, mengajar Matematika untuk Kelas 2 SMA, 1 SMA atau 3 SMP bahkan juga pernah menghandle MP Bahasa Inggris untuk SMP, semua berjalan mudah dan menyenangkan. Hal ini tidak lain tidak bukan karena siswa-siswa yang memang “hormat” pada tentornya. Tak sungkan juga berbagai trik menjawab soal aku kerahkan dari berbagai sumber buat mereka.

Pengalaman menjadi tentor yang berikutnya yaitu di **C salah satu LBB terkemuka di Indonesia, kebetulan aku juga mengajar mata pelajaran yang sama Matematika. Pada saat itu yang aku pegang kelas 3 SMP dan 1 SMA. Berjalan mudah dan menyenangkan, meskipun anak-anak di “kota” di “Jawa” lebih atraktif, aktif dan kritis. Cuma 1 hal yang “agak” berbeda, sepertinya seorang tentor hanya dianggap mereka sebagai “Mesin pengajar” yang harus mampu menjawab dan menyelesaikan segala permasalahan mereka terkait pelajaran di Sekolah, Internet atau di LBB. Sabar adalah kunci menghadapi mereka, tapi kadang sebel juga kalau mereka sudah mulai tidak hormat dengan mengacuhkan pelajaran, ogah-ogahan dan seolah-olah tak butuh tentor. Bukan rahasia umum lah, kalau LBB juga menjadi ajang “istirahat” dan “ngobrol” ngalor-ngidul buat beberapa siswa yang sudah kelelahan di sekolahnya. Gak masalah sih, jika memang mereka kelelahan, baru menjadi sebuah masalah besar jika sudah terbaca gelagat mereka “tidak suka” atau malah “cuek” atas segala hal yang kita inginkan mereka melakukannya. Pernah dengar celetukan “tentor kan gue juga yang bayar, terserah gue lah mo ngapa-ngapain tuh tentor”?. Panas gak kuping?

Kalau boleh sombong, bakal ku beberin ke muka anak-anak LBB kalau pekerjaanku tuh sebenarnya bukan tentor tapi adalah pns , dengan gaji segini, bla bla bla… Tapi kalau menuruti mereka, kelihatan banget gak dewasanya aku sebagai seorang tentor. Terpaksa hanya menghela napas… sambil menggumam dalam hati “dasar anak-anak”.

Puncaknya, aku keluar dari LBB tersebut. Ada dua sebab, sebab umum dan sebab khusus. Sebab umumnya adalah kesibukan yang mulai menggila mendekati penyusunan tesis dan sebab khususnya adalah saat aku menjadi tentor pengganti untuk Mata Pelajaran Matematika untuk kelas 2 SMA IPA. Siswanya cuma dikit sekitar 8 orang, tapi kelakuannya kayak preman, kasar, ngomong asal njeplak, “bisik-bisik” tetangga di depan mataku, dan gak nurut apapun yang aku perintahkan. Bahkan tak segan mereka membanding-bandingkan dengan tentor “langganan” mereka. Sumpah nyebelin tuh anak-anak bau kencur, songong banget jadi bocah. Serapah aku ucapkan dalam hati dengan beragam versi, moga-moga gak lulus SNMPTN, awas aja kalau jadi mahasiswa STIS dan kerja di BPS, kukerjain kalian dsb dsb. Tapi semua perasaanku berubah setelah 1 hari berlalu. Halaaaahhh sudah lah, gak perlu lebay kayak gitu ikhlas aja dengan kelakukan mereka, suatu saat mereka akan belajar arti kehidupan seiring waktu.

Dengan senang hati, daripada timbul perasaan “maksiat” aku lebih memilih resign dari LBB tersebut berbekal ragam alasan tanpa menyebut secara spesifik alasan resign. Kalau kalian pernah menjadi siswa LBB, ketahuilah tentor itu manusia biasa bukanlah mesin, ada kalanya tentor itu lupa, salah, capek, kesel dan BETE. Jangan pernah berpikir kalian masuk LBB bayar lalu kalian berpikir bahwa tentor adalah pekerja yang harus menuruti dan melayani keinginan kalian semua satu demi satu. (sssttt… perlu kalian tahu, tentor digaji berdasarkan jam mengajar, 1x pertemuan tentor digaji dengan rate sekitar 25 – 50 ribu per pertemuan dengan jumlah sekitar 20 siswa, lebih mendingan jika tentor mengajar private yang ratenya cukup tinggi dengan hanya mengajar 1 atau 2 siswa).

2 comments
  1. milo said:

    Curhaaaaat :p

    Baru tahu saya kalo anak2 sekarang kemaki, nggak hormat sama tentor. Perasaan dulu jaman saya ikut bimbel pas SMP masih sopan.
    Semoga anak2 gak sopan kaya gitu gak masuk STIS. *lho?*

    • Adiw We said:

      ahahaha.. yah beda mungkin Mil. Gadget makin canggih, pikiran makin canggih (apa hubungannya yah?).hehehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: