Sang Suami (an epilogue)
Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa rata-rata seorang wanita sudah dibekali kemampuan atau ilmu untuk “mengurus rumah tangga” oleh orang tuanya dari kecil. Mulai dari pekerjaan bersih-bersih rumah (nyapu+ngepel+ngelap), cuci+jemur+seterika, belanja ke-pasar dan memasak tentunya. Meskipun tidak berlaku secara umum, ritual ini sudah diajarkan agar si wanita kelak bisa “mengurus” keluarganya secara mandiri. Tapi ada sebagian kecil wanita yang “kurang beruntung” mendapatkan skill-skill tersebut, sehingga masih terlihat gagap dan harus belajar banyak mengurus keluarga yang baru saja dibinanya.
Sang istri yang baik akan selalu berusaha untuk memenuhi segala keperluan suami dan anak-anaknya, apapun dan bagaimanapun kondisinya. Menyiapkan sarapan dan bekal makan siang, ritual pertama yang sepertinya menjadi barang wajib bagi sang istri. Jika memiliki balita, sang istri juga harus sigap dan cepat untuk mengurusi keperluan “pagi” buah hati, mulai memandikan, memakaikan baju, dsb hingga si kecil bersih dan siap menjalani pagi. Setelah itu, memutar otak untuk menyiapkan segala keperluan suami sebelum berangkat kerja atau ngantor sembari menyiapkan sarapan buat si kecil. Belum lagi jika sang istri sudah menjadi seorang ibu dengan lebih dari 1 anak.
Kalau sang istri adalah seorang wirausaha yang waktunya dapat diatur sedemikian rupa, hal ini tentunya bukanlah sebuah masalah besar. Akan tetapi lain soal jika sang istri adalah seorang wanita karier, akan lebih sulit lagi baginya untuk menyelaraskan pekerjaan dan keluarga sekaligus.
Sore tiba, sang istri masih dalam keadaan lelah harus bersiap dengan rutinitas sore yang berat. Menyiapkan makan malam untuk keluarga, mengurusi cucian yang sudah kering untuk dilipat atau diseterika, jika memiliki anak maka sang istri harus mengurus keperluan anaknya, belum lagi jika suami pulang kerja dalam keadaan capek, segelas teh atau kopi juga sudah harus ada di meja tanpa diminta plus sederet permintaan dan perintah konyol dari sang suami. Bersih-bersih rumah juga harus dilakukan agar rumah tidak terlihat kotor dan berantakan.
Menjelang malam tiba, sang istri kembali dengan rutinitas yang berat. Mengajari anak membuat PR, membersihkan segala perabotan makan dan masak, belum lagi jika suami yang kecapekan minta pijat dan lain sebagainya *xxx*. Membaca tulisan ini saja membuat sang suami capek membayangkan sang istri yang sejak pagi “capek”, siang “capek” dan malam “capek”. Padahal rutinitas ini tidak melulu dalam jangka waktu “hari-hari kerja” saja, melainkan hari libur juga.
Sang suami harusnya lebih tahu diri, lebih pengertian dan mau berbagi tidak hanya suka tapi juga duka. Bukankah orangtuanya dulu juga mengajarkan semua hal yang diajarkan pada sang istri? Bersih-bersih rumah, nyuci, mijat bahkan memasak? Kenapa tidak dipraktekkan sekarang? Alasan yang ‘sering” dilontarkan sang suami adalah: “itu kan tugas istri, tugas suami ya cari nafkah”. Perkataan ini tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Lantas membuat sang suami “ongkang-ongkang sikil”?
Ayolah, mulai berpikir realistis. Dari tulisan ini saja, sang suami pasti berpikir bahwa sebenarnya kalau dinilai secara fair pekerjaan sang istri lebih berat dari sang suami. Tak ada salahnya kan kalau sang suami berbagi tugas dengan sang istri, meski istri tak memelas memohon pertolongan?
Ritual pagi dipecah menjadi dua sumber kekuatan, misalnya sang suami memandikan anak-anak, mengurus keperluan anak-anak, mengurus keperluan sang suami itu sendiri sebelum kerja, tinggalkan kebiasaan kuno dengan duduk di teras menikmati pagi sambil membaca koran dan menghirup secangkir teh atau kopi terlebih lagi buang-buang waktu hanya untuk mengurus peliharaan kesayangan macam burung, anjing, kucing dsb secara berlebihan, kebiasaan yang sangat so last year. Sang istri menyiapkan sarapan dan bekal makan siang sembari membersihkan rumah atau mencuci dan menjemur baju. Hal ini bisa berlaku sebaliknya, untuk menghindari kebosanan dan kekakuan. Lebih peka lah intinya …
Begitu juga ketika ritual sore dan malam tiba, sang suami juga bisa lah sesekali memijat istri agar lelahnya sedikit berkurang. Atau mungkin menyiapkan kejutan berupa makan malam untuk keluarga dengan menu yang lain dari biasanya. Tenang, tidak setiap hari kok hanya sesekali. Dijamin berkesan dan sang istri akan lebih dalam lagi mencintai sang suami. Melakukan pekerjaan yang “dianggap” tugas sang istri tak akan pernah membuat harkat dan martabat sang suami jatuh, malah sebaliknya. Singkirkan jauh-jauh ego, malu dan gengsi. Mulai sekarang jadilah sang suami yang benar-benar berperan sebagai sang suami bukan “majikan”.
Inilah bentuk sayang yang sebenarnya yaitu “pengertian”, bukan sekedar kata-kata dan omong kosong tentang cinta, sehidup semati, dan hal muluk lainnya (quote of the day). Sang istri pun bertekuk lutut, larut dalam dekap, tersekap dalam cinta, pasrah dan rela untuk menuruti segala perintah sang suami.
Sukaaaaa!
Tapi, ya, biasanya yang berpikir seperti ini jarang. Biasanya, sih, suami yang sudah berkeluarga dan sudah melihat istrinya repot, yang mau membantu ‘pekerjaan’ istri.
Kalo dipikir, tanpa jadi wanita karier (cuma ibu rumah tangga) pun, pekerjaan istri sudah luar biasa, dari pagi sampai pagi lagi. Apa lagi kalau istri juga bekerja. Serasa pengen membelah diri deh si istri.
someday you’ll know, suami rata2 emang cuek … waktu yang bisa membuatnya menjadi “gak cuek”.wkwkwkw
Eh, maksudnya “yang mau berpikir untuk membantu pekerjaan istri. Yang masih lajang, biasanya mikirnya cari istri buat nyuciin bajunya, dan mikir kalo semuanya harus dikerjakan istri.
tepaaatttt banget
baca komennya sambil senyum dan ketawa sendiri.
sekedar sharing : dari awal pernikahan kami, semua kami diskusikan termasuk pekerjaan rumahtangga, karena saya ini orang desa tapi tidak bisa melakukan pekerjaan RT. Bukan karena ibu saya tidak bisa mendidik saya, tetapi karena kulit saya yang jelek banget ini, sensitif terhadap yg berhubungan dengan basah2. Jadi dari awal saya sudah bilang gak bisa nyuci baju, cuci piring, ngepel, bersihin kamar mandi, dll. Jadi kami bagi untuk urusan basah2, suami, sedangkan untuk setrika dan berdebu2 saya (suami saya kebetulan alergi debu). Tapi yaa gak lgs berjalan muluss.. karena suami saya anak bungsu dengan banyak pembantu di rumahnya alias gak pernah tau kerjaan RT. Awalnya sering sebel sendiri kalau nggak bersih nyucinya, saya jd merasa bersalah. Akhirnya saya deh yang nyuci,siapa tahu sekarang udh kebal kulitnya. Ehhh tapi seminggu kemudian saya harus ke RS karena tangan saya infeksi, 500rb melayang ke dokter.. hahahaaa… Semenjak itu karena kami sama2 tidak bisa mengerjakan cucibaju, akhirnya kami menemukan solusi untuk kirim ke laundry.
Sekarang dengan ada baby boy, dari sejak lahir sampai umur 7 bulan, suami saya yg nyuci baju our son. Padahal udah cape kerja, perjalanan jauh naik motor, kadang masih nulis malemnya. Tapi kebaikannya ini membuat saya tidak berani membantah kata2nya. Semakin dia membantu meringankan pekerjaan saya, semakin bertambah rasa cinta kasih dan setia saya.
Saya pernah tanya ke suami : “mas, kamu gak masalah handle tanggungjawab yang harusnya aku kerjain?” dan dia jawab, “aku ini cowo, lebih kuat dari tenaga kamu, ak malu kalau diem aja liat kamu kehabisan tenaga ngerjain sendirian kerjaan rumah. Jadi apa fungsinya aku jadi pelindung kamu?”.
Saya juga pernah bilang : “maaf ya mas aku gak bisa jadi istri yang perfect. gak bisa handle kerjaan RT.” jawab suami saya : “maaf juga ya gadisku, aku gak bisa kasih kamu rumah mewah, mobil bagus, duit buat shoping dan bersenang.”
Speechless..
semoga suami saya begini teruss.. dan semoga bisa jadi cerita buat yang suaminya, mereka akan terlihat sexy, ketika mau peduli dan menolong membantu meringankan pekerjaan kita sbg istri dan ibu..
Inspiratif … makasih atas share nya mbak. Semoga di baca sama semua istri dan suami di Indonesia. hahahaha
Amiiinn.. Kita jadi istri dan ibu hebat tentu saja dengan dukungan suami hebat yang berani menerima kenyataan bahwa istrinya hebat dan berharga sekalii..